Tadi malam kami mulai bersih-bersih lemari. Yaaa,
kata orang mau lebaran, harus nata rumah agar terlihat rapi. Pantes dipandang para tamu. Kami menemukan sebuah buku dengan judul Jalan Golongan yang Selamat (Minhajul Firqoh An Najiyah Wat Thoifah al Manshuriah). Penulisnya Muhammad bin Jamil Zainu. Diterjemahkan oleh Ainul Haris Umar Arifin Thoyib, Lc. Penerbitnya Darul Haq Jakarta Po Box 7805/13078 JatCC Jakarta 13340. Tanpa ditulis alamat jelas. Telp/Fax 021-9213741/78836327-6. Sudah dicatat di katalog dalam terbitan perpustakaan Indonesia. Buku tersebut saya dapatkan pada tahun 2001 dari hadiah Yayasan Itba’us Sunnah.
kata orang mau lebaran, harus nata rumah agar terlihat rapi. Pantes dipandang para tamu. Kami menemukan sebuah buku dengan judul Jalan Golongan yang Selamat (Minhajul Firqoh An Najiyah Wat Thoifah al Manshuriah). Penulisnya Muhammad bin Jamil Zainu. Diterjemahkan oleh Ainul Haris Umar Arifin Thoyib, Lc. Penerbitnya Darul Haq Jakarta Po Box 7805/13078 JatCC Jakarta 13340. Tanpa ditulis alamat jelas. Telp/Fax 021-9213741/78836327-6. Sudah dicatat di katalog dalam terbitan perpustakaan Indonesia. Buku tersebut saya dapatkan pada tahun 2001 dari hadiah Yayasan Itba’us Sunnah.
Kami langsung buka daftar isinya. Pada bagian ke-34 ada judul peringatan Maulid Nabi. Karena judul tersebut menarik maka kami lewati semua bagain dan hanya tertuju pada judul tersebut. Dihalaman 152 dijelaskan bahwa orang-orang yang menyelenggarakan maulid terjerumus pada perbuatan syirik. Kemudian dijelaskan mengapa syirik dengan bukti dan dalil-dalil. Pada halaman 153 dijelaskan bahwa peringatan maulid itu cara menjunjung nabi berlebihan. Penjelasan berikutnya adalah peringatan maulid sepadan dengan cara orang kristen dalam merayakan hari kelahiran Nabi Isa Al Masih (hal. 154). Sedangkan di halaman 155 dijelaskan bahwa terjadi percampuran antara laki-laki dan perempuan. Dana yang dikeluarkan sangat besar. Waktu untuk membuat dekorasi, konsumsi dan lainnya sering menyebabkan lengah para penyelenggara sehingga ninggalkan sholat. Terdapat amalan berdiri saat pembacaan Maulid Nabi. Kemudian ditambah dengan penjelasan lainnya di halam 156 dan 157.
Pada bagian tiga puluh tujuh halaman 166 mengeluarkan judul shalawat-shalawat Bid’ah. Yang disebut sholawat bid’ah adalah sholawat yang tidak pernah diajarkan oleh Raulullah. Hanya ajaran dan karangan masyayikh (kyai dan ulama’ ) saja. Pada halaman 173 disebutkan orang yang membaca sholawat Nariyah termasuk syirik karena di dalamnya ada kandungan kalimat syirik. Termasuk yang bid’ah adalah sholawat fatih (170) dan lainnya. Semua sholawat-sholawat yang dinyatakan bid’ah tersebut selalu terdengar di telinga kita. Karena memang di amalkan oleh temen-temen kita yang berorganisasi di NU, terutamanya.
Bahkan di kalanagn NU ada jamaah Sholawat Nariyah. Mereka kumpul beberapa orang, rutin tiap malam tertentu. Mereka membacanya sebanyak 4444 kali.
Di Kota kami, Kediri ada jamaah wahidiyah. Mereka ini pengamal sholawat wahidiyah. Yang menciptakan kyai, ulama’ Kediri tepatnya di Kedunglo-Bandar, Kec. Kota Kediri. Ohhh jumlah jamaahnya sangat-sangat banyak. Tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Sholwat ini apakah juga dikategorian bid’ah?
Kemudian kami buka kembali daftar isi buku yang kutemukan tadi. Di sana kami menemukan tentang bahasan kuburan yang diziarohi pada bagian ke-21 hal. 102. Terdapat bahasan tawasul yang dilarang pada bagian 24 hal. 118.
Karena pembahasan-pembahasan sangat menarik, maka kami membaca semua isi buku tersebut. Alhamdulillah dapat kami selesai dalam waktu dua jam. Memang cara baca saya dengan pelan dan kemudian saya kaitkan kondisi saat ini. Yang dituduhkan bid’ah oleh buku ini merupakan amalan yang dilakukan oleh sebagaian besar pengikut Islam di negeri kita ini. Bahkan di dunia Islam lainnya. Semisal di Malaysia, di Brunai, di Yaman dan negeri lainnya yang bermadzab Imam Sayfi’i. Yang dituduhkan syirik selalu kita jumpai, di sekitar kita.
Nahhhh, yang dilarang oleh agama menurut buku tersebut merupakan amalan pakem temen-temen kita terutama yang di bawah organisasi NU. Semisal ziarah kubur. Jangan ditanya mengenai amalan ini. Pasti sepakat dilakukan, ditradisikan oleh temen-temen kita di NU. Tidak hanya ziarah kubur para wali songgo tetapi termasuk ke ulama’ yang dianggab punya kelebihan, atau ulama’ yang dianggap wali. Amati aja seputar makam Gus Mik di Ploso Kediri, pasti akan ditemukan para peziaroh yang silih berganti.
Demikian pula peringatan Maulid Nabi, mulai dari RT hingga istana mengagendakan untuk menyelenggarakannya. Ohhh, ingat lhoo setiap tanggal 12 Robiul Awal kita libur nasional. Karena kita memperingatan hari kelahiran Nabi Muhammad sholollah alahi was salam. Apakah libur nasional ini juga termasuk bid’ah?
Ahhh, banyak banget calon-calon penghuni neraka yang tidak menyadari bahwa dia sudah dinyatakan golongan yang akan masuk ke neraka. Kami berpikir, dan bertanya kalau demikian tuduhannya, maka di negeri kita ini, “di mana kami dapat menemukan golongan yang selamat tersebur? Di mana kami dapat menemukan Minhajul Firqoh An Najiyah Wat Thoifah al Manshuriah?” Dan bagaimana dengan kondisi kita saat ini yang setiap hari menemukan dan melaksanakan semua yang dianggab bid’ah tersebut. “Salahkah mereka yang mengamalkannya?” Pertanyaan kami saat ini dan sekaligus meminta ketegasan dan klarifikasi, baik dari penerjemah atau penerbit bahkan jika perlu dari pengarang langsung. “Benarkah tiket neraka telah diambil para pengamalan maulid nabi, para pembaca sholawat nariyah dan para peziarah kubur?”. Jika memang jawabannya benar. Dan mereka mengeluarkan buku-buku yang membenarkan semua pertanyaan saya. Bolehkah kita simpulkan bahwa orang yang berorganisasi NU akan masuk neraka?
============================================
Catatan Pribadi dan Pengalaman.
Kami setiap tanggal 12 Robi’ul awal selalu punya jadwal menyelenggarakan Maulid Nabi sholollah alaihi as salam di Pondok Pesantren Nurul Haromain Pujon Malang. Di sekolahan yang kami kelola juga menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi sholollah alaihi as salam. Kami juga sering diundang untuk mengisi acara maulid nabi sholollah alaihi as salam. Bahkan tradisi kami ketika anak kami aqiqoh juga kami bacakan bacaan sholawat nabi sholollah alaihi as salam dan diba’. Apalagi bacaan sholawat udah selalu kita amalkan. Bacaan sholawat fatih selalu kita baca saat akan memulai ceramah atau pidatoh, jadi pembuka setelah hamdalah termasuk saat khutbah jum’ah. Kami juga pengamal Dalaa ilul Khoirot. Waktu kami di SPG dan mondok di Raudlotul Qur’an Lamongan, kami amalkan dalail tersebut selama tiga tahun. Ziarah kubur merupakan cara kami mengenang para ulama’. Kami mendo’akan mereka. Kami sering banget melaksanakan ziarah kubur.
Semua yang kami amalkan tadi berarti salah? Berarti saya mengukir jalan mulus nuju neraka? Ataukah enaknya berpijak pada tulisan kami sebelum ini. Bid’ah jalan nuju surga? Enak mana yaaa? Ahhh agama khok dibikin repot?
percaya ga percaya kembali kepada keyakinan masing2... hanya sekedar catatan......
sumber : kli disini
sebagian comment yang saya kutip
Saudaraku aku kutipkan sanggahan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-’Utsaimin tentang pemahaman BID’AH KASANAH
Mungkin ada di antara pembaca yang bertanya : Bagaimanakah pendapat anda tentang perkataan Umar bin Khatab Radhiyallahu ‘Anhu setelah memerintahkan kepada Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari agar mengimami orang-orang di bulan Ramadhan. Ketika keluar mendapatkan para jama’ah sedang berkumpul dengan imam mereka, beliau berkata : “inilah sebaik-baik bid’ah …. dst”.
Jawabannya.
Pertama.
Bahwa tak seorangpun di antara kita boleh menentang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, walaupun dengan perkataan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali atau dengan perkataan siapa saja selain mereka. Karena Allah Ta’ala berfirman :
“Artinya : Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih”. [An-Nuur : 63].
Imam Ahmad bin Hambal berkata : “Tahukah anda, apakah yang dimaksud dengan fitnah ?. Fitnah, yaitu syirik. Boleh jadi apabila menolak sebagian sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan terjadi pada hatinya suatu kesesatan, akhirnya akan binasa”.
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Hampir saja kalian dilempar batu dari atas langit. Kukatakan : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, tapi kalian menentangnya dengan ucapan Abu Bakar dan Umar”.
Kedua.
Kita yakin kalau Umar Radhiyallahu ‘anhu termasuk orang yang sangat menghormati firman Allah Ta’ala dan sabda Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Beliaupun terkenal sebagai orang yang berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, sehingga tak heran jika beliau mendapat julukan sebagai orang yang selalu berpegang teguh kepada kalamullah. Dan kisah perempuan yang berani menyanggah pernyataan beliau tentang pembatasan mahar (maskawin) dengan firman Allah, yang artinya : ” … sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak …” [An-Nisaa : 20] bukan rahasia lagi bagi umum, sehingga beliau tidak jadi melakukan pembatasan mahar.
Sekalipun kisah ini perlu diteliti lagi tentang keshahihahnya, tetapi dimaksudkan dapat menjelaskan bahwa Umar adalah seorang yang senantiasa berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, tidak melanggarnya.
Oleh karena itu, tak patut bila Umar Radhiyallahu ‘anhu menentang sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata tentang suatu bid’ah : “Inilah sebaik-baik bid’ah”, padahal bid’ah tersebut termasuk dalam kategori sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Setiap bid’ah adalah kesesatan”.
Akan tetapi bid’ah yang dikatakan oleh Umar, harus ditempatkan sebagai bid’ah yang tidak termasuk dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Maksudnya : adalah mengumpulkan orang-orang yang mau melaksanakan shalat sunat pada malam bulan Ramadhan dengan satu imam, di mana sebelumnya mereka melakukannya sendiri-sendiri.
Sedangkan shalat sunat ini sendiri sudah ada dasarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dinyatakan oleh Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan qiyamul lail (bersama para sahabat) tiga malam berturut-turut, kemudian beliau menghentikannnya pada malam keempat, dan bersabda :
“Artinya : Sesungguhnya aku takut kalau shalat tersebut diwajibkan atas kamu, sedanghkan kamu tidak mampu untuk melaksanakannya”. [Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim].
Jadi qiyamul lail (shalat malam) di bulan Ramadhan dengan berjamaah termasuk sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun disebut bid’ah oleh Umar Radhiyallahu anhu dengan pertimbangan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah menghentikannya pada malam keempat, ada di antara orang-orang yang melakukannya sendiri-sendiri, ada yang melakukannya secara berjama’ah dengan orang banyak. Akhirnya Amirul Mu’minin Umar Radhiyallahu ‘anhu dengan pendapatnya yang benar mengumpulkan mereka dengan satu imam. Maka perbuatan yang dilakukan oleh Umar ini disebut bid’ah, bila dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang sebelum itu. Akan tetapi sebenarnya bukanlah bid’ah, karena pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan penjelasan ini, tidak ada suatu alasan apapun bagi ahli bid’ah untuk menyatakan perbuatan bid’ah mereka sebagai bid’ah hasanah.
Mungkin juga di antara pembaca ada yang bertanya : Ada hal-hal yang tidak pernah dilakukan pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi disambut baik dan diamalkan oleh umat Islam, seperti; adanya sekolah, penyusunan buku, dan lain sebagainya. Hal-hal baru seperti ini dinilai baik oleh umat Islam, diamalkan dan dipandang sebagai amal kebaikan. Lalu bagaimana hal ini, yang sudah hampir menjadi kesepakatan kaum Muslimin, dipadukan dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Setiap bid’ah adalah kesesatan ?”.
Jawabnya : Kita katakan bahwa hal-hal seperti ini sebenarnya bukan bid’ah, melainkan sebagai sarana untuk melaksanakan perintah, sedangkan sarana itu berbeda-beda sesuai tempat dan zamannya. Sebagaimana disebutkan dalam kaedah : “Sarana dihukumi menurut tujuannya”. Maka sarana untuk melaksanakan perintah, hukumnya diperintahkan ; sarana untuk perbuatan yang tidak diperintahkan, hukumnya tidak diperintahkan ; sedang sarana untuk perbuatan haram, hukumnya adalah haram. Untuk itu, suatu kebaikan jika dijadikan sarana untuk kejahatan, akan berubah hukumnya menjadi hal yang buruk dan jahat.
Firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”. [Al-An'aam : 108].
Padahal menjelek-jelekkan sembahan orang-orang yang musyrik adalah perbuatan hak dan pada tempatnya. Sebaliknya, mejelek-jelekan Rabbul ‘Alamien adalah perbuatan durjana dan tidak pada tempatnya. Namun, karena perbuatan menjelek-jelekkan dan memaki sembahan orang-orang musyrik menyebabkan mereka akan mencaci maki Allah, maka perbuatan tersebut dilarang.
Ayat ini sengaja kami kutip, karena merupakan dalil yang menunjukkan bahwa sarana dihukumi menurut tujuannya. Adanya sekolah-sekolah, karya ilmu pengetahuan dan penyusunan kitab-kitab dan lain sebagainya walaupun hal baru dan tidak ada seperti itu pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun bukan tujuan, tetapi merupakan sarana. Sedangkan sarana dihukumi menurut tujuannya. Jadi seandainya ada seseorang membangun gedung sekolah dengan tujuan untuk pengajaran ilmu yang haram, maka pembangunan tersebut hukumnya adalah haram. Sebaliknya, apabila bertujuan untuk pengajaran ilmu syar’i, maka pembangunannya adalah diperintahkan.
Jika ada pula yang mempertanyakan : Bagaimana jawaban anda terhadap sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu ..”.
“Sanna” di sini artinya : membuat atau mengadakan.
Jawabnya :
Bahwa orang yang menyampaikan ucapan tersebut adalah orang yang menyatakan pula : “Setiap bid’ah adalah kesesatan”. yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin sabda beliau sebagai orang yang jujur dan terpercaya ada yang bertentangan satu sama lainnya, sebagaimana firman Allah juga tidak ada yang saling bertentangan. Kalau ada yang beranggapan seperti itu, maka hendaklah ia meneliti kembali. Anggapan tersebut terjadi mungkin karena dirinya yang tidak mampu atau karena kurang jeli. Dan sama sekali tidak akan ada pertentangan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala atau sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan demikian tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan : “man sanna fil islaam”, yang artinya : “Barangsiapa berbuat dalam Islam”, sedangkan bid’ah tidak termasuk dalam Islam ; kemudian menyatkan : “sunnah hasanah”, berarti : “Sunnah yang baik”, sedangkan bid’ah bukan yang baik. Tentu berbeda antara berbuat sunnah dan mengerjakan bid’ah.
Jawaban lainnya, bahwa kata-kata “man sanna” bisa diartikan pula : “Barangsiapa menghidupkan suatu sunnah”, yang telah ditinggalkan dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata “sanna” tidak berarti membuat sunnah dari dirinya sendiri, melainkan menghidupkan kembali suatu sunnah yang telah ditinggalkan.
Ada juga jawaban lain yang ditunjukkan oleh sebab timbulnya hadits diatas, yaitu kisah orang-orang yang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka itu dalam keadaan yang amat sulit. Maka beliau menghimbau kepada para sahabat untuk mendermakan sebagian dari harta mereka. Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa sebungkus uang perak yang kelihatannya cukup banyak, lalu diletakkannya di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seketika itu berseri-serilah wajah beliau dan bersabda.
“Artinya : Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu ..”.
Dari sini, dapat dipahami bahwa arti “sanna” ialah : melaksanakan (mengerjakan), bukan berarti membuat (mengadakan) suatu sunnah. Jadi arti dari sabda beliau : “Man Sanna fil Islaami Sunnatan Hasanan”, yaitu : “Barangsiapa melaksanakan sunnah yang baik”, bukan membuat atau mengadakannya, karena yang demikian ini dilarang. berdasarkan sabda beliau : “Kullu bid’atin dhalaalah”.
[Disalin dari buku Al-Ibdaa' fi Kamaalisy Syar'i wa Khatharil Ibtidaa' edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin, penerjemah Ahmad Masykur MZ, terbitan Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor - Jabar]
SEMOGA BISA MENJADI REFERNSI BAGI SAUDARA2KU YANG BENAR2 MENCARI KEBENARAN. WALLOHU’ALAM
Kebetulan saya tidak sepaham dengan Syaikh Utsaimin. Karena saya bukan penganut paham Wahhabi Mujassimah Musyabbihah. Saya meyakini sebagaimana i’tiqod Ahlus Sunnah bahwa Allohu mawjud bi laa makaan. Sementara Wahhabi Mujassimah Musyabbihah memiliki i’tiqod yang berbeda. Jadi saya -maaf- tidak ikut dengan pendapat mereka.
0 komentar:
Posting Komentar